Ilustrasi mengakses Facebook - kompas.com |
Fresta adalah siswi kelas XI di Sekolah Menengah Kejuruan Pembangunan (SMK Pembangunan) Kota Bogor di Jawa Barat. Pada tanggal 8 Februari 2011, pukul 17.54, ia menulis dua kalimat itu di statusnya. Teman sekelasnya, Firda (17), ikut-ikutan memberi jempol pada status itu sebagai tanda menyukainya. Adapun Amelia (17) mengomentari dengan, "Hahahaha bener banget tuh".
Dua hari setelah itu, wali kelasnya mendatangi rumah Fresta di Kedung Halang, Kecamatan Bogor Utara. Sang guru mengundang orangtua Fresta untuk datang ke sekolah keesokan harinya. Saat ibu Fresta, Romlah Suharti (40), bertanya, sang guru tak menjelaskan, sambil beralasan akan ada penjelasan.
Keesokan harinya, pada 11 Februari, Romlah datang bersama Fresta. Beberapa menit di sana, ia sudah disodori selembar kertas kosong bermeterai. Manajemen sekolah meminta Fresta membuat surat pengunduran diri. Sekolah beralasan, ada perilaku Fresta yang tidak sesuai.
Romlah memohon agar sekolah tak mengeluarkan anaknya. Hari itu ia masih menolak menandatangani. Tanggal 14 Februari, Fresta resmi dikeluarkan dari sekolah setelah tetap tak ada titik temu. Hal serupa juga dialami dua temannya, Amelia dan Firda.
Mengapa menulis seperti itu di Facebook? "Soalnya denger-denger begitu. Siang sebelum menulis, air di kamar mandi sekolah ngadat. Hari itu juga datang orang PDAM ke sekolah nagih. Katanya tiga bulan belum bayar," tutur Fresta, Kamis (3/3/2011) di ruang rapat Komisi D DPRD Kota Bogor.
Amelia, Firda, serta lima kakak kelasnya, Pipih, Agustianingsih, Rinawati, Salamah, dan Munengsih, didampingi beberapa wakil orangtua hari itu mengadu ke DPRD agar mendapat keadilan dan kembali diterima bersekolah di SMK Pembangunan Bogor.
Manajemen sekolah sudah pernah juga mengeluarkan siswanya pada akhir Desember 2010. Saat itu yang dikeluarkan bahkan lima siswi kelas XII, tingkat akhir yang bakal mengikuti ujian nasional pada April mendatang. Alasannya, mereka kerap membolos sekolah dan berperilaku tidak baik.
"Fresta tidak bermasalah. Tidak membolos dan nilainya juga sedang-sedang," tutur Romlah. Ia mengaku anaknya memang pernah dihukum saat kelas X. Ketika itu ada razia telepon genggam. Ia meminjam telepon genggam temannya untuk mengirim pesan singkat, tetapi dalam telepon genggam itu ternyata ada gambar porno. "Itu juga bukan punya anak saya. Dan, setelah itu tidak ada masalah lain," tuturnya.
Menurut Romlah, sekolah seharusnya bisa instrospeksi diri mengapa sampai ada siswa yang menulis dengan status seperti itu di situs jejaring sosial. Artinya, ada ketidakpuasan dan seharusnya mereka tidak menanggapinya dengan keras langsung mengeluarkan, tetapi mengayomi.
Saat rapat dengan sejumlah anggota Komisi D DPRD Kota Bogor, mata Fresta tampak berkaca-kaca. Ia mengenakan seragam putih abu-abu. Begitu pula dengan dua temannya yang ikut nimbrung di status itu dan turut terkena getahnya dikeluarkan dari sekolah. Beberapa anggota DPRD sempat emosi berkomentar di hadapan Kepala SMK Pembangunan Bogor Fahruraji dan Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bogor Fajar Maulana Yusuf.
"Saya juga punya anak perempuan yang juga seumur mereka. Seharusnya sekolah itu mendidik anak, bukan membinasakan dengan dikeluarkan dari sekolah. Apalagi yang kelas XII, sudah mau ujian nasional," ujar Dodi Setiawan, anggota DPRD Kota Bogor dengan suara bergetar.
Seorang anggota DPRD lainnya memegang tangannya, berupaya menenangkan. Tiga dari lima siswi kelas XII itu mengaku, alasan dikeluarkan juga karena dituduh berbuat tidak senonoh di luar sekolah. "Alasan kepada orangtua memang karena bolos, tapi belakangan disebut-sebut kami ini cewek enggak bener," tutur Rina, seperti diakui pula oleh temannya, Agustianingsih.
"Sewaktu protes dikeluarkan, ada guru yang bilang percuma karena katanya ada yang pernah lihat saya di hotel. Katanya sekolah punya satgas. Padahal, itu enggak betul," tutur Rina.
Ia menduga tuduhan itu disebabkan ia dan keempat temannya kerap berdandan modis. Dua di antaranya menggunakan kawat gigi, serta beberapa kali ada yang membawa telepon genggam cukup bagus.
Sejak dikeluarkan, dia mengaku belum menemukan sekolah pengganti sehingga khawatir tidak bisa mengikuti ujian nasional. Namun, dari pertemuan itu, Dinas Pendidikan Kota Bogor berjanji akan memfasilitasi mereka kembali bersekolah di SMK Pembangunan dan bisa mengikuti ujian nasional.
"Nomor ujian nasional sudah dicetak, tetapi saya akan mencoba mendaftarkan lima siswi itu," tutur Fajar. Sekolah juga akhirnya berjanji akan menerima kedelapan siswa itu.
Namun, soal alasan siswi itu dikeluarkan, Fahruraji cuma melempar tersenyum. Apa benar karena status Facebook? "He-he-he. Ada hal-hal yang kurang pas saja. Ya, seolah dia tidak concern kepada sekolah," ujar Fahruraji sambil berlalu.
Kompas.com, Kamis, 3 Maret 2011 | 22:29 WIB Read More..