Selamat Datang - Sugeng Rawuh - Wellcome - Horas

Rabu, 30 Maret 2011

Kami Dianggap Aib

Wajah lugunya menatap malu-malu. Gadis cilik itu pun tersenyum simpul dan segera menyembunyikan wajahnya di balik tubuh ibunya. Selintas, Fitri (nama samaran, 4) tak terlihat berbeda dibandingkan anak-anak sebayanya. Tapi, di usia semuda itu, ia harus menelan fakta getir bahwa di tubuhnya bersarang virus HIV/AIDS.

PENULARAN DARI ORANG TUA KE ANAK

Fitri belum memahami penyakit apa yang dideritanya. Yang ia tahu hanyalah ia harus minum obat setiap hari selama hidupnya. Jika tidak, ia bisa kembali diopname di rumah sakit, diinfus, dan disuntik. “Dua tahun lalu, setelah tahu bahwa putri bungsu saya itu positif mengidap HIV/AIDS, ia menderita demam tinggi dan harus dirawat selama 1 bulan di RSCM,” jelas Yani (nama samaran, 35), ibu dari Fitri, yang juga mengidap HIV/AIDS.

Fitri kecil pun mulai bertanya, “Bu, kenapa, sih, aku harus minum obat terus?” Tak sanggup berkata jujur, sang ibu hanya mengingatkan trauma diopname selama satu bulan kepada gadis kecil itu. “Ya, sudah, deh, daripada nginep di rumah sakit, diinfus, dan disuntik, aku minum obat aja,”
ujarnya menurut dan berhenti bertanya tentang sakitnya.

Penularan virus HIV/AIDS dari orang tua kepada anak memang salah satu penyebab meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS. Almarhum ayah Fitri adalah mantan pengguna narkoba dengan jarum suntik. “Ia mengaku sudah berhenti. Tapi, ternyata diam-diam ia masih menggunakan narkoba, jika ketemu dengan teman-teman lamanya,” kisah Yani. Suaminya itu meninggal dunia setelah satu bulan mengetahui bahwa dirinya positif mengidap HIV/AIDS.

Fitri tak sendirian. Anto (nama samaran, 7) juga mengalami nasib serupa. Tujuh tahun lalu, saat ia masih dalam kandungan, ayahnya divonis mengidap virus HIV level akut. Malangnya, dua bulan setelah itu, sang ayah pun kalah bertarung melawan virus tersebut dan gagal bertahan hidup.

“Ketika suami saya dites dan hasilnya positif, saya ikut panik. Karena, sebagai istri, saya juga berisiko terkena HIV,” jelas Santi (nama samaran, 22), ibu dari Anto. Saat kejadian itu, Santi masih berusia 15 tahun dan tengah mengandung 7 bulan. Ternyata, Santi juga positif terkena HIV. Setelah tahu, ia melahirkan dengan cara operasi caesar. “Ketika lahir, Anto langsung dites dan hasilnya negatif. Tapi, lewat tiga bulan, berat badannya terus menyusut. Ketika diperiksa kembali, ia positif terkena HIV,” ujarnya, tampak tegar.

Tak mudah baginya berjuang sendirian di usia yang sangat muda. “Saya sudah pisah rumah dengan orang tua saya. Saat itu tak ada tempat berlindung, saya harus berjuang sendiri di tengah ketidaktahuan saya mengenai apa itu HIV/AIDS. Yang saya tahu, penyakit ini tidak bisa disembuhkan dan mematikan,” ujarnya, penuh haru.

Berbekal ketegaran dan keberanian, Santi mencari dukungan dari sebuah yayasan yang khusus menangani permasalahan HIV/AIDS. “Saya dibimbing agar dapat melanjutkan hidup normal dan mendapat akses untuk obat ARV (antiretroviral) gratis untuk Anto,” jelas Santi, yang kemudian aktif menjadi relawan di yayasan itu. Santi juga bersyukur, ia tak harus tergantung pada obat ARV. Karena, kadar CD-4 (suatu jenis sel darah putih yang penting untuk sistem kekebalan tubuh) dalam tubuhnya, masih bagus.

Pengguna narkoba dengan jarum suntik memang berisiko tinggi terkena virus HIV/AIDS. Terutama, mereka yang sering menggunakan jarum suntik tak steril. Seperti Fajar Jasmin (33) yang pada Januari 2008 didiagnosis HIV positif. “Ini adalah konsekuensi atas pilihan yang saya buat di masa lampau,” tulis ayah 3 anak tersebut di blog-nya.

Pria yang sudah berhenti menggunakan narkoba ini tidak menyangka bisa tertular HIV/AIDS. “Saya memang pernah menggunakan narkoba dengan jarum suntik. Tapi, saya selalu berhati-hati dan tidak pernah menggunakan jarum suntik tidak steril,” jelasnya.

Ia membutuhkan proses panjang agar bisa menerima keadaan ini. Bahkan, sempat merasa marah. “Bagaimana tidak, saya kehilangan kesehatan saya seumur hidup,” ujarnya, yang akhirnya bisa ikhlas berkat dukungan keluarganya. Penghujung 2008 adalah masa tersulit baginya.
“Saya telah memasuki fase AIDS. Selama 2 minggu saya dirawat dengan 7 pasien positif HIV lain. Satu per satu teman sekamar saya meninggal dunia. Sungguh menakutkan harus berhadapan dengan akhir kehidupan,” ujar Fajar, yang menjadi satu-satunya pasien di kamar perawatan itu, yang masih bertahan hidup hingga saat ini. Namun, ia sangat bersyukur, istri dan anak-anaknya tidak tertular.

TERTINGGI DI ASIA

Data KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) menunjukkan, pada periode Januari - Juni 2010, ada 1.797 kasus HIV/AIDS baru yang dilaporkan di Indonesia. Fakta yang pahit, memang. Terlebih, menurut laporan UNAIDS 2010, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan epidemi HIV/AIDS tertinggi di Asia. Pada akhir 2009, diperkirakan ada 333.200 ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di Indonesia dan 25% di antaranya adalah wanita.

“Peningkatan sarana untuk Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan makin banyaknya petugas kesehatan yang memahami HIV/AIDS membuat masyarakat makin mudah memeriksakan diri. Karena itulah temuan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat pesat,” jelas Dr. Nafsiah, Mboi. Tahun 2004, hanya 16 provinsi yang melaporkan kasus HIV/AIDS. Kini ada 32 dari 33 provinsi di Indonesia yang melaporkan epidemi HIV/AIDS. Sulawesi Barat tercatat masih terbebas dari kasus HIV/AIDS.

Untuk mengatasinya, pemerintah telah meningkatkan alokasi dana. Dari 2006 ke 2009, dana yang dialokasikan meningkat dari 11 juta dolar AS (sekitar Rp105 miliar) menjadi 73 juta dolar AS (sekitar Rp660 miliar). Tujuh puluh persen alokasi dana untuk penanganan HIV/AIDS memang didapat dari donatur asing, Global Fund.

Awalnya, ARV sulit diperoleh ODHA, karena harganya mahal. Sejak Desember 2003, pemerintah menyatakan obat ARV gratis diakses. Tahun ini sudah 45% ODHA yang mendapatkan akses terhadap ARV. “Subsidi obat ARV gratis oleh pemerintah sangat menolong. Karena sebagian besar obat diproduksi di Indonesia oleh salah satu produsen farmasi lokal, maka kesinambungannya pun relatif baik. Tapi, ada juga biaya pengobatan lain yang harus dibayar ODHA, seperti biaya konsultasi dokter, tes HIV, tes fungsi hati dan hemoglobin, serta tes foto paru-paru,” jelas Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD., KAI.

Menurutnya, hingga saat ini pengobatan dengan ARV memberikan hasil terapi terbaik. Dan telah berhasil menurunkan angka kematian akibat HIV/AIDS dari 46% (2006) menjadi 17% (akhir 2008).

“Tantangan terberat lain adalah bagaimana agar mereka yang dapat bertahan hidup dengan HIV/AIDS tidak menularkan lagi,” ujar Nafsiah. Hal ini terkait dengan target Millennium Development Goals tahun 2015, yang salah satu targetnya adalah penurunan epidemi HIV/AIDS di Indonesia.
Penularan melalui hubungan seks adalah cara penularan tertinggi saat ini di Indonesia. “Bayangkan saja, ada 3,1 juta pria yang gemar ‘jajan’ seks dan sebagian besar dari mereka tidak melakukan hubungan seks yang aman. Istri di rumah pun berisiko tertular penyakit yang dibawa suaminya,” ujar Nafsiah, prihatin.

Tak mengherankan, jika penularan AIDS melalui hubungan seks heteroseksual adalah yang tertinggi di Indonesia, yaitu sebanyak 49,3%. Sedangkan penularan melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril sebanyak 40,4%.

“Selama ini KPAN berusaha untuk mengedukasi mereka (WPS (wanita pekerja seks) dan kliennya) agar menggunakan kondom, sehingga bisa mencegah penularan penyakit infeksi menular seksual. Tapi, para pria selalu menolak dengan alasan mengurangi kenikmatan,” jelas Nafsiah.

Lebih lanjut, ia menelaah, sesungguhnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya penggunaan kondom sudah lebih dari 90%. Sayangnya, sebagian besar masih mengutamakan kenikmatan dibandingkan keamanan. Padahal, jika seseorang sudah terkena infeksi menular seksual, risiko terkena HIV/AIDS meningkat dua kali lebih besar.

“Memang sulit bagi kami, wanita pekerja seks, untuk membujuk klien memakai kondom,” kata Susi (28), yang sudah bekerja sebagai WPS sejak 2008.  “Kalau kami keukeuh mau pakai kondom dan kliennya pergi, setoran pasti berkurang,” tutur Susi, yang memegang prinsip, tidak akan melayani tanpa kondom.

Wanita yang aktif berperan sebagai sekretaris OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia) ini memiliki trik untuk memaksakan penggunaan kondom pada kliennya. “Saya menunjukkan hasil tes VCT saya yang HIV negatif pada klien. Jika mereka juga bisa menunjukkan hasil yang sama, saya tidak keberatan tidak pakai kondom,” ujar Susi.

Usaha KPAN mensosialisasikan kondom pun berbenturan dengan perspektif moral masyarakat. Saat ditemui femina, Nafsiah mendapat kabar bahwa iklan layanan masyarakat KPAN mengenai penggunaan kondom untuk pencegahan penularan HIV/AIDS tidak dapat ditayangkan, karena ada kekhawatiran dapat menimbulkan protes kelompok masyarakat tertentu.

“Di satu sisi, kami harus melakukan sosialisasi dan edukasi, di sisi lain kami harus berhadapan dengan masyarakat yang menganggap bahwa pembahasan mengenai kondom demi seks sehat adalah hal yang tabu,” jelas Nafsiah.

Peraturan daerah (perda) yang membubarkan lokalisasi juga menjadi bumerang bagi upaya KPAN melakukan program pencegahan, pengobatan, dan pembagian kondom. “Lokalisasi resmi dibubarkan, tapi akibatnya sarana jual-beli seks bergeser ke rumah-rumah penduduk yang justru sulit dilacak,” lanjutnya.

MASYARAKAT TIDAK ADIL

Nyatanya, tak ada orang yang ‘tak tersentuh’ epidemi HIV/AIDS. Semua berisiko, meski kita berpikir tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan risiko. Seperti yang diceritakan Fajar kepada femina. “Ternyata, tidak ada orang yang kebal dan tak tersentuh virus ini,” ujarnya.

Yani juga merasakan hal yang sama, ketika ia, suami, dan putri bungsunya dinyatakan HIV positif. Sejak itu hidupnya berubah drastis. Ditinggal suami selamanya bukan yang terburuk. Kini, di tengah keterbatasannya, ia harus menghidupi dua anak dan salah satunya adalah ODHA.

“Penyuluhan terhadap masyarakat umum tetap harus dijalankan, meski yang menjadi prioritas dalam program HIV/AIDS adalah pencegahan pada kelompok berisiko tinggi. Karena, masyarakat umum pun memiliki risiko tertular,” tegas Prof. Samsuridjal.

Menurutnya, kelompok yang juga penting diperhatikan adalah ibu hamil. Meski angka penyebaran HIV di kalangan ibu hamil masih rendah, sebaiknya ibu hamil melaksanakan tes HIV. “Jika positif, dapat diusahakan agar anaknya tak tertular. Program ini baru dilakukan di 10 provinsi. Semoga setiap pemerintah daerah mulai menjalankannya, sehingga ibu hamil di seluruh Indonesia dapat mencegah penularan HIV kepada bayinya,” harapnya.

Kekhawatiran profesor yang telah menangani kasus HIV/AIDS sejak tahun 1987 ini muncul dari pengamatannya terhadap jumlah pasien anak-anak dengan HIV positif.

“Di RSCM, Poli Anak telah melayani lebih dari 300 anak dengan HIV positif. Pelayanan pada anak tidak mudah. Diagnosis harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena kematian cepat terjadi. Obat di negeri kita masih mengutamakan bentuk obat untuk dewasa, yaitu tablet. Layanan untuk HIV pada anak pun belum merata. Jika anak memasuki usia sekolah, belum banyak sekolah yang bersedia menerima. Belum lagi kesulitan memberi tahu anak bahwa dia HIV,” tuturnya.

Tak hanya harus bergulat dengan virus yang terus menggerogoti sistem kekebalan tubuh dan berjuang melawan kematian, ODHA juga harus siap bertarung melawan stigma masyarakat yang perlahan membunuh jiwa mereka. Cap bahwa HIV/AIDS muncul akibat perbuatan amoral, seperti seks bebas dan penggunaan narkoba, membuat masyarakat awam merasa ODHA berhak disingkirkan dari pergaulan sosial. Selain itu, rasa takut tertular pun memperkuat alasan mereka untuk menjauhi ODHA.

Ketika mengetahui dirinya mengidap HIV positif, Santi bertekad menghadapi virus itu dengan tegar. Namun, setelah suaminya meninggal dan anaknya dinyatakan HIV positif, ia harus pulang ke rumah orang tuanya.

“Awalnya, mereka menganggap saya aib bagi keluarga dan takut tertular. Untunglah, pendamping dari yayasan bersedia datang dan memberikan penjelasan pada orang tua saya bahwa HIV/AIDS hanya dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah. Agar orang tua saya makin yakin, para pembimbing meminum air dari gelas yang sama dengan saya,” jelas Santi.

Perjuangannya tak berhenti di situ. Suatu hari, rumahnya didatangi para tetangga yang tidak mau menerimanya di lingkungan mereka. “Dukungan keluarga dan teman sangat penting saat itu,” ujar Santi, yang berhasil mendapat kepercayaan diri kembali, setelah mendapat pinangan dari pria yang tidak mengidap HIV/AIDS. “Saya bersyukur, masih ada pria yang mau menyayangi saya dan anak saya dengan kondisi seperti ini. Meski tahu saya HIV positif, ia tetap memperistri saya,” tuturnya.

Jika Santi berhasil membangun ketegaran untuk membuka diri, Yani hingga kini masih menutup diri. Setelah suaminya meninggal, Yani dan kedua anaknya kembali tinggal dengan ibu, kakak, dan adiknya. “Tak ada seorang pun di rumah yang tahu kondisi saya. Saya dan anak saya minum obat sembunyi-sembunyi. Rasanya belum berani untuk berkata sejujurnya pada mereka,” ujarnya.

Santi juga menyembunyikan penyakitnya dari kantor tempat ia bekerja dan TK tempat putrinya bersekolah. “Saya belum sanggup kehilangan sumber pencaharian. Selain itu, kalau saya bilang pada pihak sekolah bahwa anak saya HIV positif, mereka pasti tidak mau menerimanya,” jelasnya.
Sementara itu, Fajar termasuk beruntung, karena mendapat dukungan penuh dari istri dan keluarganya. Ia mengakui bahwa keberaniannya untuk jujur kepada masyarakat mengenai kondisinya muncul berkat dukungan keluarganya.

“Tak banyak ODHA yang beruntung seperti saya, mendapat dukungan penuh dari keluarga dan teman-teman. Karena, ketika kita divonis HIV positif, hal pertama yang muncul di pikiran adalah kematian,” ujarnya. Dukungan dari istri ditunjukkan melalui hal-hal kecil, seperti selalu menemani kontrol ke dokter, mengingatkan minum obat, dan mengingatkan ketika ia sudah terlalu banyak bekerja.  karena ODHA tidak boleh stres.

Stigma masyarakat dirasa tak adil. karena tak sedikit yang mendapatkan virus tersebut dari orang lain, dan bukan dampak atas suatu perbuatan yang membuat mereka berisiko tinggi terkena HIV/AIDS.

“Kita harus memandang HIV/AIDS sebagai sebuah epidemi penyakit. Memandangnya dengan perspektif moral tidak akan menyelesaikan masalah. Jika kondisi ini terus berlanjut, kita tidak akan mampu mencapai MDGs 2015. Dan, pada 2025 diperkirakan akan ditemukan 200.000 infeksi baru, jumlah pria yang membeli seks meningkat, angka pengguna narkoba dengan jarum suntik tetap tinggi, dan jumlah istri yang berisiko tinggi pun meningkat,” tegas Nafsiah.

Ia melanjutkan, HIV/AIDS memang tak dapat dijadikan tolok ukur moral seseorang. “Ini adalah epidemi penyakit. Cara penanganannya pun harus secara medis dan ilmiah. Jika setiap upaya
selalu dipagari moral atau tabu, sulit bagi kami untuk mencegah penyebarannya,” tutur Nafsiah.

Makin banyak pria berisiko tinggi terkena HIV positif, risiko penularan pada istrinya juga akan makin tinggi, dan risiko penularan terhadap bayi akan berbanding lurus. “Ini adalah tantangan. Tak hanya bagi KPAN, tapi bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bisa bersikap lebih terbuka dan tidak memakai patokan moral atau ketabuan dalam menyikapi persoalan HIV/AIDS,” tegasnya.

Penulis: Eka Januwati, http://www.femina.co.id
Read More..

Secangkir Teh Untuk Kemesraan

Ilusstrasi - www.cosmopolitan.co.id
Lupakan makan malam mewah atau hadiah perhiasan berlian yang mahal. Zoe Foster penulis Textbook Romance berkata bahwa hal-hal yang terlihat kecil pun tak kalah penting dan berkesan. Tidak peduli berapa lama hubungan Anda dan si dia telah berjalan, wanita selalu ingin merasakan pasangannya peduli dengan cara yang sederhana seperti membuatkannya secangkir teh, lho.

Teh Sebagai Simbol Kenyamanan
Minuman apa sih yang paling tepat untuk Anda tawarkan kepada teman perempuan yang baru saja diputuskan oleh pasangannya, housemate yang protes, atau teman kantor yang kelelahan? Highly recommended: a cup of tea! Teh hangat mampu membuat jiwa terasa nyaman saat seseorang dilanda kekecewaan, memberikan perhatian seperti halnya sebuah pelukan. Sudah pasti kan, dalam sebuah hubungan selain rasa cinta dan percaya, hal-hal tersebut menduduki posisi penting. Jika Anda dan pasangan memiliki fondasi kuat atas hal tersebut, bisa jadi hubungan Anda memiliki kesempatan bertahan sampai akhir.

Secangkir Teh, Perubahan Besar
Anda mungkin bisa membelikan si dia hadiah mahal atau mengajaknya dinner di restoran mewah, tapi tahukah Anda bahwa melakukan hal-hal sederhana namun esensial justru bisa membuat si dia merasa super spesial? Coba pikir baik-baik, berapa banyak perhatian yang si dia rasakan saat Anda mengirimkan pesan singkat yang suportif sewaktu dia memasuki hari kerja pertama, membelikan majalah Cosmo di halte bus karena tahu itu majalah kesukaannya, atau membantu ibunya membetulkan koneksi internet yang putus. A bouquet of care for your beloved partner, that's what matter the most! Kurang lebih hal seperti itulah yang membuat secangkir teh menjadi sangat istimewa. Menunjukkan bahwa Anda peduli dengan dirinya dan mencoba memahami dirinya. Ketika Anda melupakan “secangkir teh”, seolah itu merepresentasikan hubungan Anda yang jadi hambar. Nggak mau sampai begitu, kan?

Tentu saja, tidak harus selalu dengan secangkir teh. Perhatian Anda dapat ditunjukkan dengan berbagai hal, yang terpenting lakukan itu dengan inisiatif dan penuh cinta. Jadikan si dia sebagai wanita paling beruntung sedunia dengan sosok Anda yang perhatian. Meski hanya melalui hal sederhana seperti secangkir teh itu tadi. Even some simple things can do the “magic” for your relationship!

Tips Cosmo!
Jadikan momen minum teh bersama dia menjadi lebih romantis! Si dia pasti terkejut betapa Anda bisa sangat manis!
1.Cari tahu rasa dan aroma teh yang dia sukai. Anda dapat menambahkan aroma bunga, buah atau daun mint agar teh yang diminum oleh si dia lebih berkesan.
2.Sajikan dalam ceramic tea sets untuk mempercantik tampilan.
3.Cobalah tata meja lebih menarik. Letakkan rangkaian bunga di tengah meja. Pasang taplak meja yang bersih dan cantik, pastinya membuat acara bincang-bincang lepas penat Anda dan si dia menjadi lebih nyaman. Who knows it will lead to bed? Hmm..(foto: wallcoo.net)

http://www.cosmopolitan.co.id
Read More..

Menbudpar: Film Impor Tetap Masuk Indonesia

Foto: Menbudpar Jero Wacik melakukan potong tumpeng dalam rangka Hari Film Nasional ke-61 di Gedung Sapta Pesona, Rabu (30/3/2011) - foto Kompas


JAKARTA, KOMPAS.com — Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik menegaskan, film impor dari Amerika Serikat tetap masuk ke Indonesia. Penegasan tersebut diungkapkan pada acara Hari Film Nasional ke-61 di Gedung Sapta Pesona Jakarta, Rabu (30/3/2011).

"Hari ini, saya bertemu importir film. Mereka sudah memproses agar film impor tetap masuk,minimal status quo. Untuk pajak sedang diatur. Saya minta mereka supaya masuk lagi filmnya, kita lagi atur pajaknya," katanya, kepada wartawan.

Dalam sambutannya, Jero mengungkapkan, permasalahan film impor memang dilematis karena di satu sisi masih banyak masyarakat yang ingin menonton film impor. "Film impor ini bisa sebagai referensi. Jadi, ada indikator film itu sebaiknya kayak gini lho," ujarnya.

Ia menambahkan, untuk urusan perpajakan, pihaknya mengharapkan penyelesaian yang win-win solution. "Film impor bisa jadi referensi untuk sineas Indonesia. Jadi ada pembandingnya," ungkapnya.

Ia mengaku, untuk urusan film impor, ada beberapa pemikiran yang berkembang. Beberapa pihak mengatakan bahwa dengan film Indonesia saja sudah cukup. "Tapi, itu enggak cukup. Kita ada 600 lebih layar bioskop di Indonesia. Dulu kita cuma bisa produksi film Indonesia lima, sekarang sudah bisa buat 100 film Indonesia setahun. Kalau dengan 100 film ke 600 layar itu kurang," tutur Jero.

Jika kondisi tersebut tetap dibiarkan, lanjutnya, akan banyak bioskop yang gulung tikar.  "Bioskop, kan, banyak punya karyawan. Kita jangan membuat kebijakan yang menciptakan pengangguran," katanya.
Ia sendiri belum bisa menyebutkan kapan tenggat waktu untuk kebijakan pajak antara pemerintah dan importir film.

Sementara itu, Direktur Perfilman Kembudpar Syamsul Lussa menyebutkan, pada bulan Januari 2011 terdapat 20 film Amerika Serikat yang masuk Indonesia. "Bulan Februari ada lima dan pada Maret, ada dua film," katanya menambahkan.

Pada acara Hari Film Nasional ke-61 tersebut juga dilakukan penyerahan uang insentif kepada para pemenang Piala Citra Festival Film Indonesia 2010. Selain itu juga dilakukan pemutaran video mengenang Bapak Perfilman Nasional Usmar Ismail.

Kompas.com, Rabu, 30 Maret 2011 | 17:16 WIB Read More..

Kemenkominfo Jamin Tak Akan Lakukan Penyadapan di Situs Jejaringsosial

Facebook - Situs JejaringSosial
Jakarta (ANTARA News) - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menjamin tidak akan melakukan penyadapan atau melakukan monitoring terhadap situs jejaring sosial untuk kepentingan tertentu.

"Tidak ada rencana dari kami untuk melakukan itu, lagi pula kami tidak mempunyai peralatan penyadapan, jadi kami tidak akan memonitoring terhadap jejaring sosial," kata Kepala Pusat Informasi dan Humas Kemenkominfo, Gatot S. Dewabroto, di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, pihaknya tidak dalam kapasitas untuk melakukan penyadapan sehingga ia menjamin pihaknya tidak akan melakukan monitoring terhadap jejaring sosial tertentu.

Jika ada lembaga lain, seperti BIN (Badan Intelejen Negara), melakukan penyadapan, Gatot menegaskan, hal itu merupakan area atau ranah kerja badan tersebut.

"Aturan penyadapan itu jelas, haram dilakukan, dan hanya boleh dilakukan untuk keperluan tertentu, itu pun harus mendapatkan izin salah satunya dari Kapolri," katanya.

Selain itu, UU ITE juga menetapkan bahwa penyadapan dilarang meski dimungkinkan untuk dilakukan, tetapi pelaksanaannya harus diatur dengan Peraturan Pemerintah (PP) (lebih lanjut Mahkamah Konstitusi menyatakan penyadapan harus diatur dengan UU).

Gatot menambahkan, ancaman pidana melakukan penyadapan secara ilegal diatur secara jelas dalam UU ITE pasal 47 dengan ancaman penjara 10 tahun dan denda Rp800 juta.

"Kami sendiri tidak dalam konteks urusan penyadapan, jadi kami tidak akan dan tidak ada rencana melakukan itu," katanya.

Namun, sejauh itu memungkinkan, menurut Gatot, seandainya ada penyadapan maka hal itu hanya dari sisi aspek teknis semata.(*)
Read More..

Malaysia Ajukan Permintaan Untuk 26.600 TKI Formal

Ilustrasi - pendaftaran TKI
Kuala Lumpur (ANTARA News) - Sejumlah perusahaan di Malaysia telah mengajukan permintaan untuk 26.600 tenaga kerja Indonesia (TKI) sektor formal sebagai tenaga kerja perkebunan, pabrik, konstruksi dan jasa (services), namun yang baru bisa terealisasikan sekitar 6.000 pekerja.

`Sampai tanggal 25 Maret ini, jumlah yang teralisir sekitar 6000 pekerja. Sehingga masih terdapat 20 ribuan lagi masih belum bisa terpenuhi," kata Atase Ketenagakerjaan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Agus Triyanto saat dihubungi di Kuala Lumpur, Sabtu.

Menurut dia, belum teralisirnya permintaan tersebut karena saat ini sedang dalam proses pengurusannya sehingga para TKI yang nanti dipekerjakan di negeri ini benar-benar sesuai dengan kriteria yang diperlukan dan mengikuti peraturan yang berlaku di kedua negara.

"Kita terus mengawasi pengiriman TKI guna menghindari permasalahan dikemudian hari," kata Agus.

Sementara itu, dengan adanya rencana dibukanya kembali moratorium untuk pengiriman penata laksana rumah tangga (PLRT) juga sudah mulai terlihat permintaan dari sejumlah rumah tangga di Malaysia.

Berdasarkan dari informasi yang pihak KBRI terima bahwa keperluan untuk PLRT untuk di semenanjung Malaysia saat ini mencapai 39 ribu pekerja.

Diakuinya bahwa permintaan untuk PLRT dari Indonesia terbilang tinggi bahkan selama moratorium saja ribuan PLRT tetap masuk ke negeri ini. "Berdasarkan informasi yang diterima terdapat 9650 PLRT yang bekerja di Malaysia selama moratorium diberlakukan," katanya.

Sedangkan data terakhir yang kami terima, jumlah PLRT asal Indonesia di negeri ini mencapai 202.756 orang.

"Namun demikian, adanya peluang kerja tersebut, proses rekrutmennya harus benar-benar sesuai kriteria dan mengikuti peraturan yang berlaku baik di Indonesia maupun Malaysia sehingga sesampainya di negeri ini tidak menimbulkan permasalahan," tegasnya.

Dikatakannya, pada saat ini masih terdapat ratusan TKI yang mengalami permasalahan dan ditampung di shelter KBRI Kuala Lumpur guna menunggu proses penyelesaian permasalahan mereka dengan pihak perusahaan ataupun majikan tempat mereka bekerja.

Agus menjelaskan bahwa TKI bermasalah yang ditampung di shelter seluruh Malaysia mencapai 421 orang yang terdiri dari 40 orang pria, 3 anak-anak , 5 bayi dan 380 wanita. Namun demikian, sebagian besar dari mereka telah berhasil dipulangkan kembali ke Tanah Air.

"Kini yang tersisa 260 orang di seluruh Malaysia. Di shelter KBRI Kuala Lumpur masih terdapat 84 orang wanita dan dua bayi. Para TKI tersebut sedang menunggu proses penyelesaian dari majikannya terutama untuk memperoleh hak gaji bulanannya belum dibayarkan oleh pihak perusahaan ataupun majikan," paparnya.
(*)


Antaranews.com, Sabtu, 26 Maret 2011 15:20 WIB Read More..

2.927 "Overstayers" dari Arab Saudi Dipulangkan dengan Kapal

Ilustrasi TKI "Overstayer"(ANTARA/Lucky.R)
Jakarta (ANTARA News) - Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia Moh Jumhur Hidayat menyebutkan 2.927 WNI/TKI overstayers tahap VII dari Jeddah, Arab Saudi, akan pulang dengan kapal.

Jumhur di Jakarta, Senin, menyatakan pemulangan WNI/TKI overstayers tahap I - VI dengan menggunakan pesawat terbang milik PT Garuda Indonesia sedangkan tahap VII dengan kapal milik PT Pelni karena jumlahnya mencapai ribuan orang.

Ia menjadwalkan pemulangan 2.927 WNI/TKI itu akan berlangsung pada 25 April mendatang dari Pelabuhan Jeddah menuju Pelabuhan Tanjungpriok, Jakarta, dengan waktu tempuh selama 12 hari dengan Kapal Motor Labobar Milik PT Pelni yang berkapasitas 3.080 penumpang.

Saat ini mereka masih berada di penampungan (tarhil) kantor imigrasi Jeddah dan Gedung Madinatul Hujjat (bekas asrama jemaah haji jamaah Indonesia) yang letaknya berdekatan.

Pemerintah sebelumnya telah memulangkan 301 WNI/TKI overstayers tahap I dari Jeddah yang tiba di Tanah Air pada Senin (14/2), sebanyak 335 orang tahap II pada Jumat (18/2), sebanyak 350 orang tahap III pada Kamis (24/2), sebanyak 415 orang tahap IV pada Senin (28/2), 305 orang tahap V pada Kamis (10/3), dan 367 orang tahap V pada Sabtu (19/3) sehingga total dari tahap I - VI sebanyak 2.073 WNI/TKI.

Dengan pemulangan tahap VII yang segera dilakukan maka terdapat 5.000 WNI/TKI yang dipulangkan oleh pemerintah.

TKI yang dipulangkan merupakan overstayers atau pelanggar keimigrasian karena melebihi batas tinggal di Jeddah serta tidak memiliki dokumen dan biaya untuk kembali ke Tanah Air bahkan sebagian sempat menempati kolong jembatan Khandara selama berbulan-bulan.

Menurut Kepala BNP2TKI Moh Jumhur Hidayat, pemulangan para WNI/TKI itu merupakan rangkaian kepulangan WNI/TKI pelanggar izin batas tinggal (overstayers) serta TKI bermasalah yang ada Jeddah, Arab Saudi yang jumlahnya masih ribuan orang.

Termasuk yang sejak September 2010 menghuni kolong Jembatan Khandara, Jeddah, selama berbulan-bulan hingga pemerintah Arab Saudi mengosongkan tempat itu dari para WNI/TKI maupun para pelanggar izin tinggal dari negara lain mulai akhir Januari 2011.

Di seluruh Arab Saudi kini terdapat sekitar 40 ribu - 50 ribu WNI/TKI overstayers dan TKI bermasalah.

Dari jumlah itu, berasal dari Jeddah lebih dari 25 ribu orang karena dari tempat lain di Arab Saudi juga banyak yang diarahkan atau dikonsentrasikan ke Jeddah untuk diagendakan pemulangannya.

Setelah pemulangan tahap I-VII, katanya, pemerintah tetap akan menangani pemulangan lainnya bekerja sama dengan pemerintah Arab Saudi untuk mengupayakan pembebasan denda/pengampunan berikut exit permit.(B009)


Antaranews.com, Senin, 28 Maret 2011 10:37 WIB Read More..