Selamat Datang - Sugeng Rawuh - Wellcome - Horas

Rabu, 30 Maret 2011

Kami Dianggap Aib

Wajah lugunya menatap malu-malu. Gadis cilik itu pun tersenyum simpul dan segera menyembunyikan wajahnya di balik tubuh ibunya. Selintas, Fitri (nama samaran, 4) tak terlihat berbeda dibandingkan anak-anak sebayanya. Tapi, di usia semuda itu, ia harus menelan fakta getir bahwa di tubuhnya bersarang virus HIV/AIDS.

PENULARAN DARI ORANG TUA KE ANAK

Fitri belum memahami penyakit apa yang dideritanya. Yang ia tahu hanyalah ia harus minum obat setiap hari selama hidupnya. Jika tidak, ia bisa kembali diopname di rumah sakit, diinfus, dan disuntik. “Dua tahun lalu, setelah tahu bahwa putri bungsu saya itu positif mengidap HIV/AIDS, ia menderita demam tinggi dan harus dirawat selama 1 bulan di RSCM,” jelas Yani (nama samaran, 35), ibu dari Fitri, yang juga mengidap HIV/AIDS.

Fitri kecil pun mulai bertanya, “Bu, kenapa, sih, aku harus minum obat terus?” Tak sanggup berkata jujur, sang ibu hanya mengingatkan trauma diopname selama satu bulan kepada gadis kecil itu. “Ya, sudah, deh, daripada nginep di rumah sakit, diinfus, dan disuntik, aku minum obat aja,”
ujarnya menurut dan berhenti bertanya tentang sakitnya.

Penularan virus HIV/AIDS dari orang tua kepada anak memang salah satu penyebab meningkatnya jumlah penderita HIV/AIDS. Almarhum ayah Fitri adalah mantan pengguna narkoba dengan jarum suntik. “Ia mengaku sudah berhenti. Tapi, ternyata diam-diam ia masih menggunakan narkoba, jika ketemu dengan teman-teman lamanya,” kisah Yani. Suaminya itu meninggal dunia setelah satu bulan mengetahui bahwa dirinya positif mengidap HIV/AIDS.

Fitri tak sendirian. Anto (nama samaran, 7) juga mengalami nasib serupa. Tujuh tahun lalu, saat ia masih dalam kandungan, ayahnya divonis mengidap virus HIV level akut. Malangnya, dua bulan setelah itu, sang ayah pun kalah bertarung melawan virus tersebut dan gagal bertahan hidup.

“Ketika suami saya dites dan hasilnya positif, saya ikut panik. Karena, sebagai istri, saya juga berisiko terkena HIV,” jelas Santi (nama samaran, 22), ibu dari Anto. Saat kejadian itu, Santi masih berusia 15 tahun dan tengah mengandung 7 bulan. Ternyata, Santi juga positif terkena HIV. Setelah tahu, ia melahirkan dengan cara operasi caesar. “Ketika lahir, Anto langsung dites dan hasilnya negatif. Tapi, lewat tiga bulan, berat badannya terus menyusut. Ketika diperiksa kembali, ia positif terkena HIV,” ujarnya, tampak tegar.

Tak mudah baginya berjuang sendirian di usia yang sangat muda. “Saya sudah pisah rumah dengan orang tua saya. Saat itu tak ada tempat berlindung, saya harus berjuang sendiri di tengah ketidaktahuan saya mengenai apa itu HIV/AIDS. Yang saya tahu, penyakit ini tidak bisa disembuhkan dan mematikan,” ujarnya, penuh haru.

Berbekal ketegaran dan keberanian, Santi mencari dukungan dari sebuah yayasan yang khusus menangani permasalahan HIV/AIDS. “Saya dibimbing agar dapat melanjutkan hidup normal dan mendapat akses untuk obat ARV (antiretroviral) gratis untuk Anto,” jelas Santi, yang kemudian aktif menjadi relawan di yayasan itu. Santi juga bersyukur, ia tak harus tergantung pada obat ARV. Karena, kadar CD-4 (suatu jenis sel darah putih yang penting untuk sistem kekebalan tubuh) dalam tubuhnya, masih bagus.

Pengguna narkoba dengan jarum suntik memang berisiko tinggi terkena virus HIV/AIDS. Terutama, mereka yang sering menggunakan jarum suntik tak steril. Seperti Fajar Jasmin (33) yang pada Januari 2008 didiagnosis HIV positif. “Ini adalah konsekuensi atas pilihan yang saya buat di masa lampau,” tulis ayah 3 anak tersebut di blog-nya.

Pria yang sudah berhenti menggunakan narkoba ini tidak menyangka bisa tertular HIV/AIDS. “Saya memang pernah menggunakan narkoba dengan jarum suntik. Tapi, saya selalu berhati-hati dan tidak pernah menggunakan jarum suntik tidak steril,” jelasnya.

Ia membutuhkan proses panjang agar bisa menerima keadaan ini. Bahkan, sempat merasa marah. “Bagaimana tidak, saya kehilangan kesehatan saya seumur hidup,” ujarnya, yang akhirnya bisa ikhlas berkat dukungan keluarganya. Penghujung 2008 adalah masa tersulit baginya.
“Saya telah memasuki fase AIDS. Selama 2 minggu saya dirawat dengan 7 pasien positif HIV lain. Satu per satu teman sekamar saya meninggal dunia. Sungguh menakutkan harus berhadapan dengan akhir kehidupan,” ujar Fajar, yang menjadi satu-satunya pasien di kamar perawatan itu, yang masih bertahan hidup hingga saat ini. Namun, ia sangat bersyukur, istri dan anak-anaknya tidak tertular.

TERTINGGI DI ASIA

Data KPAN (Komisi Penanggulangan AIDS Nasional) menunjukkan, pada periode Januari - Juni 2010, ada 1.797 kasus HIV/AIDS baru yang dilaporkan di Indonesia. Fakta yang pahit, memang. Terlebih, menurut laporan UNAIDS 2010, Indonesia disebut sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan epidemi HIV/AIDS tertinggi di Asia. Pada akhir 2009, diperkirakan ada 333.200 ODHA (orang dengan HIV/AIDS) di Indonesia dan 25% di antaranya adalah wanita.

“Peningkatan sarana untuk Voluntary Counseling and Testing (VCT) dan makin banyaknya petugas kesehatan yang memahami HIV/AIDS membuat masyarakat makin mudah memeriksakan diri. Karena itulah temuan epidemi HIV/AIDS di Indonesia meningkat pesat,” jelas Dr. Nafsiah, Mboi. Tahun 2004, hanya 16 provinsi yang melaporkan kasus HIV/AIDS. Kini ada 32 dari 33 provinsi di Indonesia yang melaporkan epidemi HIV/AIDS. Sulawesi Barat tercatat masih terbebas dari kasus HIV/AIDS.

Untuk mengatasinya, pemerintah telah meningkatkan alokasi dana. Dari 2006 ke 2009, dana yang dialokasikan meningkat dari 11 juta dolar AS (sekitar Rp105 miliar) menjadi 73 juta dolar AS (sekitar Rp660 miliar). Tujuh puluh persen alokasi dana untuk penanganan HIV/AIDS memang didapat dari donatur asing, Global Fund.

Awalnya, ARV sulit diperoleh ODHA, karena harganya mahal. Sejak Desember 2003, pemerintah menyatakan obat ARV gratis diakses. Tahun ini sudah 45% ODHA yang mendapatkan akses terhadap ARV. “Subsidi obat ARV gratis oleh pemerintah sangat menolong. Karena sebagian besar obat diproduksi di Indonesia oleh salah satu produsen farmasi lokal, maka kesinambungannya pun relatif baik. Tapi, ada juga biaya pengobatan lain yang harus dibayar ODHA, seperti biaya konsultasi dokter, tes HIV, tes fungsi hati dan hemoglobin, serta tes foto paru-paru,” jelas Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, Sp.PD., KAI.

Menurutnya, hingga saat ini pengobatan dengan ARV memberikan hasil terapi terbaik. Dan telah berhasil menurunkan angka kematian akibat HIV/AIDS dari 46% (2006) menjadi 17% (akhir 2008).

“Tantangan terberat lain adalah bagaimana agar mereka yang dapat bertahan hidup dengan HIV/AIDS tidak menularkan lagi,” ujar Nafsiah. Hal ini terkait dengan target Millennium Development Goals tahun 2015, yang salah satu targetnya adalah penurunan epidemi HIV/AIDS di Indonesia.
Penularan melalui hubungan seks adalah cara penularan tertinggi saat ini di Indonesia. “Bayangkan saja, ada 3,1 juta pria yang gemar ‘jajan’ seks dan sebagian besar dari mereka tidak melakukan hubungan seks yang aman. Istri di rumah pun berisiko tertular penyakit yang dibawa suaminya,” ujar Nafsiah, prihatin.

Tak mengherankan, jika penularan AIDS melalui hubungan seks heteroseksual adalah yang tertinggi di Indonesia, yaitu sebanyak 49,3%. Sedangkan penularan melalui penggunaan jarum suntik yang tidak steril sebanyak 40,4%.

“Selama ini KPAN berusaha untuk mengedukasi mereka (WPS (wanita pekerja seks) dan kliennya) agar menggunakan kondom, sehingga bisa mencegah penularan penyakit infeksi menular seksual. Tapi, para pria selalu menolak dengan alasan mengurangi kenikmatan,” jelas Nafsiah.

Lebih lanjut, ia menelaah, sesungguhnya tingkat pengetahuan masyarakat terhadap pentingnya penggunaan kondom sudah lebih dari 90%. Sayangnya, sebagian besar masih mengutamakan kenikmatan dibandingkan keamanan. Padahal, jika seseorang sudah terkena infeksi menular seksual, risiko terkena HIV/AIDS meningkat dua kali lebih besar.

“Memang sulit bagi kami, wanita pekerja seks, untuk membujuk klien memakai kondom,” kata Susi (28), yang sudah bekerja sebagai WPS sejak 2008.  “Kalau kami keukeuh mau pakai kondom dan kliennya pergi, setoran pasti berkurang,” tutur Susi, yang memegang prinsip, tidak akan melayani tanpa kondom.

Wanita yang aktif berperan sebagai sekretaris OPSI (Organisasi Perubahan Sosial Indonesia) ini memiliki trik untuk memaksakan penggunaan kondom pada kliennya. “Saya menunjukkan hasil tes VCT saya yang HIV negatif pada klien. Jika mereka juga bisa menunjukkan hasil yang sama, saya tidak keberatan tidak pakai kondom,” ujar Susi.

Usaha KPAN mensosialisasikan kondom pun berbenturan dengan perspektif moral masyarakat. Saat ditemui femina, Nafsiah mendapat kabar bahwa iklan layanan masyarakat KPAN mengenai penggunaan kondom untuk pencegahan penularan HIV/AIDS tidak dapat ditayangkan, karena ada kekhawatiran dapat menimbulkan protes kelompok masyarakat tertentu.

“Di satu sisi, kami harus melakukan sosialisasi dan edukasi, di sisi lain kami harus berhadapan dengan masyarakat yang menganggap bahwa pembahasan mengenai kondom demi seks sehat adalah hal yang tabu,” jelas Nafsiah.

Peraturan daerah (perda) yang membubarkan lokalisasi juga menjadi bumerang bagi upaya KPAN melakukan program pencegahan, pengobatan, dan pembagian kondom. “Lokalisasi resmi dibubarkan, tapi akibatnya sarana jual-beli seks bergeser ke rumah-rumah penduduk yang justru sulit dilacak,” lanjutnya.

MASYARAKAT TIDAK ADIL

Nyatanya, tak ada orang yang ‘tak tersentuh’ epidemi HIV/AIDS. Semua berisiko, meski kita berpikir tidak pernah melakukan sesuatu yang dapat meningkatkan risiko. Seperti yang diceritakan Fajar kepada femina. “Ternyata, tidak ada orang yang kebal dan tak tersentuh virus ini,” ujarnya.

Yani juga merasakan hal yang sama, ketika ia, suami, dan putri bungsunya dinyatakan HIV positif. Sejak itu hidupnya berubah drastis. Ditinggal suami selamanya bukan yang terburuk. Kini, di tengah keterbatasannya, ia harus menghidupi dua anak dan salah satunya adalah ODHA.

“Penyuluhan terhadap masyarakat umum tetap harus dijalankan, meski yang menjadi prioritas dalam program HIV/AIDS adalah pencegahan pada kelompok berisiko tinggi. Karena, masyarakat umum pun memiliki risiko tertular,” tegas Prof. Samsuridjal.

Menurutnya, kelompok yang juga penting diperhatikan adalah ibu hamil. Meski angka penyebaran HIV di kalangan ibu hamil masih rendah, sebaiknya ibu hamil melaksanakan tes HIV. “Jika positif, dapat diusahakan agar anaknya tak tertular. Program ini baru dilakukan di 10 provinsi. Semoga setiap pemerintah daerah mulai menjalankannya, sehingga ibu hamil di seluruh Indonesia dapat mencegah penularan HIV kepada bayinya,” harapnya.

Kekhawatiran profesor yang telah menangani kasus HIV/AIDS sejak tahun 1987 ini muncul dari pengamatannya terhadap jumlah pasien anak-anak dengan HIV positif.

“Di RSCM, Poli Anak telah melayani lebih dari 300 anak dengan HIV positif. Pelayanan pada anak tidak mudah. Diagnosis harus dilakukan dengan cepat dan tepat, karena kematian cepat terjadi. Obat di negeri kita masih mengutamakan bentuk obat untuk dewasa, yaitu tablet. Layanan untuk HIV pada anak pun belum merata. Jika anak memasuki usia sekolah, belum banyak sekolah yang bersedia menerima. Belum lagi kesulitan memberi tahu anak bahwa dia HIV,” tuturnya.

Tak hanya harus bergulat dengan virus yang terus menggerogoti sistem kekebalan tubuh dan berjuang melawan kematian, ODHA juga harus siap bertarung melawan stigma masyarakat yang perlahan membunuh jiwa mereka. Cap bahwa HIV/AIDS muncul akibat perbuatan amoral, seperti seks bebas dan penggunaan narkoba, membuat masyarakat awam merasa ODHA berhak disingkirkan dari pergaulan sosial. Selain itu, rasa takut tertular pun memperkuat alasan mereka untuk menjauhi ODHA.

Ketika mengetahui dirinya mengidap HIV positif, Santi bertekad menghadapi virus itu dengan tegar. Namun, setelah suaminya meninggal dan anaknya dinyatakan HIV positif, ia harus pulang ke rumah orang tuanya.

“Awalnya, mereka menganggap saya aib bagi keluarga dan takut tertular. Untunglah, pendamping dari yayasan bersedia datang dan memberikan penjelasan pada orang tua saya bahwa HIV/AIDS hanya dapat ditularkan melalui hubungan seksual dan transfusi darah. Agar orang tua saya makin yakin, para pembimbing meminum air dari gelas yang sama dengan saya,” jelas Santi.

Perjuangannya tak berhenti di situ. Suatu hari, rumahnya didatangi para tetangga yang tidak mau menerimanya di lingkungan mereka. “Dukungan keluarga dan teman sangat penting saat itu,” ujar Santi, yang berhasil mendapat kepercayaan diri kembali, setelah mendapat pinangan dari pria yang tidak mengidap HIV/AIDS. “Saya bersyukur, masih ada pria yang mau menyayangi saya dan anak saya dengan kondisi seperti ini. Meski tahu saya HIV positif, ia tetap memperistri saya,” tuturnya.

Jika Santi berhasil membangun ketegaran untuk membuka diri, Yani hingga kini masih menutup diri. Setelah suaminya meninggal, Yani dan kedua anaknya kembali tinggal dengan ibu, kakak, dan adiknya. “Tak ada seorang pun di rumah yang tahu kondisi saya. Saya dan anak saya minum obat sembunyi-sembunyi. Rasanya belum berani untuk berkata sejujurnya pada mereka,” ujarnya.

Santi juga menyembunyikan penyakitnya dari kantor tempat ia bekerja dan TK tempat putrinya bersekolah. “Saya belum sanggup kehilangan sumber pencaharian. Selain itu, kalau saya bilang pada pihak sekolah bahwa anak saya HIV positif, mereka pasti tidak mau menerimanya,” jelasnya.
Sementara itu, Fajar termasuk beruntung, karena mendapat dukungan penuh dari istri dan keluarganya. Ia mengakui bahwa keberaniannya untuk jujur kepada masyarakat mengenai kondisinya muncul berkat dukungan keluarganya.

“Tak banyak ODHA yang beruntung seperti saya, mendapat dukungan penuh dari keluarga dan teman-teman. Karena, ketika kita divonis HIV positif, hal pertama yang muncul di pikiran adalah kematian,” ujarnya. Dukungan dari istri ditunjukkan melalui hal-hal kecil, seperti selalu menemani kontrol ke dokter, mengingatkan minum obat, dan mengingatkan ketika ia sudah terlalu banyak bekerja.  karena ODHA tidak boleh stres.

Stigma masyarakat dirasa tak adil. karena tak sedikit yang mendapatkan virus tersebut dari orang lain, dan bukan dampak atas suatu perbuatan yang membuat mereka berisiko tinggi terkena HIV/AIDS.

“Kita harus memandang HIV/AIDS sebagai sebuah epidemi penyakit. Memandangnya dengan perspektif moral tidak akan menyelesaikan masalah. Jika kondisi ini terus berlanjut, kita tidak akan mampu mencapai MDGs 2015. Dan, pada 2025 diperkirakan akan ditemukan 200.000 infeksi baru, jumlah pria yang membeli seks meningkat, angka pengguna narkoba dengan jarum suntik tetap tinggi, dan jumlah istri yang berisiko tinggi pun meningkat,” tegas Nafsiah.

Ia melanjutkan, HIV/AIDS memang tak dapat dijadikan tolok ukur moral seseorang. “Ini adalah epidemi penyakit. Cara penanganannya pun harus secara medis dan ilmiah. Jika setiap upaya
selalu dipagari moral atau tabu, sulit bagi kami untuk mencegah penyebarannya,” tutur Nafsiah.

Makin banyak pria berisiko tinggi terkena HIV positif, risiko penularan pada istrinya juga akan makin tinggi, dan risiko penularan terhadap bayi akan berbanding lurus. “Ini adalah tantangan. Tak hanya bagi KPAN, tapi bagi seluruh masyarakat Indonesia untuk bisa bersikap lebih terbuka dan tidak memakai patokan moral atau ketabuan dalam menyikapi persoalan HIV/AIDS,” tegasnya.

Penulis: Eka Januwati, http://www.femina.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar